LSM Damar Gelar Konsultasi Formal KDRT

Loading

Bandarlampung, (Mediamerdeka.co)-Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR menyelenggarakan Konsultasi Formal “Pengembangan Kebijakan Payung Pelaksanaan Penanganan Kekerasan Dalam Ruma Tangga (KDRT) di lingkungan kepolisian bekerja sama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Lampung.

Konsultasi itu melibatkan 32 anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dari Polda Lampung dan polres kabupaten/kota se-Lampung, diselenggarakan pada 18 Desember 2019, di Hotel Emersia dengan menghadirkan narasumber AKP. Endang Sri Lestari SH MSi dari Polda Metro Jaya, Margaretha Hanita konsultan Prevention, Dr Tisnanta MHum akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan AKBP Adisastri SH MH dari UPPA Polda Lampung.

Menurut Sofiyan Hd, Koordinator Program LSM Damar mendampingi Direktur Eksekutifnya Selly Fitriani, kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat perspektif kepolisian tentang pentingnya intervensi terhadap laki-laki pelaku sebagai upaya menurunkan angka kekerasan berbasis gender di Lampung khususnya kekerasan terhadap perempuan.

Kemudian, mengidentifikasi adanya peluang dikembangkannya kebijakan payung pelaksanaan penanganan KDRT di lingkungan kepolisian di Provinsi Lampung, dan memfasilitasi konsolidasi pembelajaran pelaksanaan secara formal Panduan Penanganan KDRT di lingkungan kepolisian, katanya pula.

Kegiatan itu atas dukungan RutgersWPF Indonesia bersama LSM Damar dan para pihak terkait lainnya.

Sofiyan menjelaskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dalam pasal 51, 52 dan 53 merupakan delik aduan dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual dengan pelaku pasangan suami/istri.

Secara kontekstual, katanya pula, sebagian besar pelaku adalah suami korban, sehingga perubahan perilaku kekerasan menjadi penting dan hal ini sudah diakomodir terkait konseling bagi pelaku pada pasal 50, sebagai pidana tambahan.

“Akan tetapi, pengalaman penanganan KDRT yang ditemukan adalah bahwa sebelum sampai proses persidangan, laporan korban yang masuk kategori delik aduan di kepolisian, sudah banyak yang dicabut dengan berbagai alasan, antara lain takut ancaman pelaku,” ujarnya lagi.

Kondisi itu, kata dia pula, menempatkan para penyidik kepolisian pada posisi yang pelik, mengingat secara prosedural terjadi pencabutan laporan delik aduan korban KDRT, sedangkan potensi pengulangan kekerasan sangat mungkin terjadi, karena pelaku tidak menerima konseling selama masa pengaduan tersebut.

Bahkan, katanya lagi, ditemukan kasus dimana korban meninggal setelah mencabut laporannya, karena telah menerima perilaku kekerasan yang lebih parah dari pelaku sebagai bentuk pelampiasan dendam atas laporan korban.

Sementara dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, di pasal 2, dengan jelas menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

“Dengan demikian perlindungan warga negara dari kekerasan, termasuk KDRT tidak luput dari fungsi tersebut,” ujarnya lagi.

Salah satu kebijakan Polri terkait dengan hal tersebut, Kapolri telah mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri No: Kep/1219/XI/2017, tentang Konselor Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana para petugas yang ditetapkan tersebut terdiri dari para dokter jiwa dan psikolog klinis yang telah dilatih dan memiliki kompetensi cukup untuk menangani konseling bagi pelaku KDRT, ujar Sofiyan lagi.(red/ant)

Berita Terkait

Riana Sari Arinal Bagikan Sembako Program Siger kepada Warga Terdampak Banjir di Kampung Tanjung Jati, TBB, Bandarlampung

Bandarlampung (MM)- Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Lampung Ibu Riana Sari Arinal memberikan bantuan program …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *