MEDIAMERDEKA.CO – UU No.7/2017, tentang Pemilihan Umum di gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi yang dilakukan oleh pemohon Muhammad Hafidz tersebut, dikarenakan aturan sumber dana kampanye sebagaimana tercantum dalam Pasal 326 UU Pemilu, berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.
Pasal 326 UU Pemilu menyatakan, dana kampanye yang berasal dari pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 325 ayat (2) huruf c, berupa sumbangan, yang sah menurut hukum dan bersifat tidak mengikat, dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.
“Ketentuan ini merugikan, karena tidak mengatur mengenai batasan pemberian dana kampanye untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari salah seorang atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maupun partai politik,” kata Muhammad Hafidz, di ruang sidang majelis hakim MK, Jumat (7/9/2018).
Sebagai peserta pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden ataupun partai politik, diberi hak menerima sumbangan dana kampanye yang tidak mengikat dari perorangan. Hanya saja nilainya tidak boleh melebihi Rp2,5 miliar. Sementara yang dari kelompok, perusahaan, dan atau badan usaha nonpemerintah, tidak boleh melebihi Rp25 miliar.
Akan tetapi, UU Pemilu tidak mengatur mengenai batasan pemberian dana kampanye untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang bersangkutan maupun dari parpol. “Ketiadaan pengaturan ini berpotensi melahirkan penyumbang yang tidak diketahui asal usulnya dengan cara memberikan secara langsung kepada salah seorang pasangan calon presiden dan wakil presiden ataupun partai politik. Sehingga hal tersebut mungkin saja memicu pemilu yang tidak sehat,” jelasnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, Pasal 326 UU Pemilu, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dana kampanye untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Yang berasal dari perseorangan, mencakup pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, tidak boleh melebihi Rp85 miliar.
Sementara yang berasal dari kelompok, mencakup partai politik dan atau gabungan partai politik, tidak boleh melebihi Rp850 miliar. “Apabila pasal a quo dinyatakan konstitusional bersyarat, selaku warga negara yang juga berkewajiban menjaga penyelenggaraan pemilu yang jurdil, kami mengharapkan agar pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih nantinya tidak diganggu oleh kepentingan penyumbang-penyumbang fiktif yang dapat merugikan kepentingan umum,” sebutnya.
Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi, Saldi Isra mengusulkan, Pemohon untuk mencari argumentasi akademik, mengenai keterkaitan antara Pemilu Luber dan Jurdil, dengan sumber dana kampanye yang tidak dibatasi tersebut. “Jika ada norma yang tidak membatasi, atau kajian mengenai cara mendapatkan sumber dana untuk kampanye tersebut bisa mengancam pemilu, tolong jelaskan persinggungannya seperti apa nantinya,” ujarnya.
Saldi juga meminta, Pemohon menguraikan implikasi dari konsekuensi apabila MK memperluas atau mempersempit makna dari pasal a quo, terutama mengenai sumbangan dana kampanye tersebut. “Akankah nanti jika atas apa yang diputuskan MK, akan menimbulkan kekosongan hukum. Jadi, Pemohon mungkin dapat membantu mahkamah mempertajam analisa itu dalam permohonan perbaikan,” tandasnya.