PULAU TEGAL, bagi Ir. H. Anshori Djausal, MT, separuh jejak kehidupannya. Dia mengenal betul setiap lekuk tubuh dan habitat pulau tersebut. Sejak tahun 1983, pakar ferosemen dan budayawan ini, sudah bercumbu dengan Teluk Lampung.
Dia bersama keluarga dan komunitas pencinta lingkungan hidup hanya menikmati keasrian pulau dan keindahan terumbu karang lautnya. Bahkan, para pecinta lingkungan sempat merawat terumbu karang yang rusak oleh nelayan.
Anshori Djausal juga menjelajah pulau-pulau lainnya hingga ke Tanjung Putus. Namun, Pulau Tegal, karena alaminya kala itu, selalu menarik hati baginya untuk selalu berkunjung dan berkunjung ke pulau tersebut.
“Dulu, di pulau tersebut, cuma ada dua rumah nelayan dan satu rumah milik Babay Chalimi, bos PT. Andatu dan PT. SBB di Serengsem,” ujarnya menjelang senja di bengkel seninya di Jl. AR Hakim, Gang KH. Thobari No.95, Kamis lalu (28/9).
Awalnya, Anshori Djausal tak tahu siapa pemilik Pulau Tegal. Siapapun bebas datang dan pergi ke pulau tersebut. Dari informasi mereka yang tinggal di pulau, Babay Chalimi yang memiliki hampir separuh pulau yang sengaja dibiarkan alami.
Anshori akhirnya bertemu Babay Chalimi yang malah mempersilahkan menempati bangunan miliknya di pulau tersebut. Bertahun-tahun, katanya, dia dan keluarga menjadikan rumah tersebut poskonya hampir setiap akhir pekan.
Bang An, panggilan akrabnya, menyukai laut sejak mahasiswa di ITB. Mantan dosen Fakultas Teknik Universitas Lampung ini menciptakan kapal yang terbuat dari ferosemen di penghujung tahun ’70-an.
Ferosemen merupakan teknik beton tipis yang berhasil diaplikasikannya jadi kapal. Kreativitasnya memeroleh apresiasi berbagai pihak. SKH Kompas menurunkan tulisan tentang karyanya di halaman pertama.
Setelah pulang ke kampung halamannya dan jadi dosen di FT Unila, kapal ferosemen itulah yang menemaninya bersenda gurau menikmati pasir pantai, diving menganggumi terumbu karang, dan biota laut pulau di Teluk Lampung itu.
Kala itulah, dia menjadikan Pulau Tegal yang masih alami lokasi favoritnya menikmati keindahan bawah lautnya. Sampai-sampai Anshori Djausal hapal setiap lekuk dan biota laut kawasan pulau tersebut.
“Saya tahu betul karakteristik terumbu karangnya, ada kura-kura di sudut sana, ikan kerapu di sudut sini, dan lainnya,” ujar Bang An.
Sang istri, Dr. Ir. Herawati Soekardi, sebagai dosen biologi Fakutas Pertanian Universitas Lampung, memiliki hobi yang sama berpetualang menikmati keasrian alam tertarik dengan kupu-kupu yang ada di pulau tersebut.
Menurut Bang An, puluhan spesies kupu-kupu hidup nyaman di pulau tersebut. Dari Pulau Tegal, Mbak Ing, panggilan Dr. Ir. Herawati, memeroleh 30-an spesies yang jika di daratan tak mudah menemukannya.
“Ada spesies kupu-kupu dari Pulau Tegal yang mungkin baru ketemu di Liwa, Kabupaten Lampung Barat,” katanya.
Bahkan, kata Ivan Bonang, yang kala itu masih mahasiswa, sempat tinggal lama di pulau tersebut. “Ada kupu-kupu endemik di Pulau Tegal kala itu,” ujar inisiator Komunitas Dongeng Lampung, Minggu (31/8).
Dia tak tahu sekarang nasib kupu-kupu endemik tersebut. “Gak tau sekarang mah, kalo habitatnya rusak, kemungkinan kupu-kupunya udah gak ada lagi,” ujar Ivan lewat WA sambil mentutupnya dengan icon menangis.
Puluhan spesies kupu-kupu itulah yang menjadi cikal bakal penangkaran Kupu-Kupu Gita Persada sekaligus kawasan konservasi dan lokasi rekreasi di kaki Gunung Betung, Kemiling, Kota Bandarlampung.
Akhir-akhir ini, Anshori Djausal dan keluarga nyaris tak pernah lagi berkunjung ke pulau yang penuh kenangan bagi dirinya dan keluarganya. Pulau yang kini “berisik”, penuh artifisial dan komersial. (*)