Bandarlampung (Mediamerdeka.co)-Dinas Pendidikan Provinsi dan Kebudayaan Lampung melalui Kepala Bidang Pembinaan SMA Diona Kathrina membantah adanya kongkalikong terkait program pengadaan fasilitas akses ‘rumah belajar’ yang dibiayai dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Diona mengatakan, pihak dinas tidak melarang sekolah untuk membeli barang untuk pengadaan tersebut, namun harus sesuai aturan yang ada. Dikatakannya bahwa BOS affirmasi dan kinerja tahun 2019 itu ada yang nilainya Rp200 juta keatas dan Rp200 juta ke bawah.
“Kalau nilainya Rp200 juta ke atas harus pakai proses lelang, tapi sampai sekarang acuan dari pusat belum turun jadi kita belum berani melakukan proses lelang. Kemudian untuk nilai Rp200 juta ke bawah rupanya sudah pakai Siplah atau aplikasi online, sehingga pada saat bulan Desember tahun 2019 itu barang belum datang, ya selesai, tahun anggaran sudah selesai di bulan Desember berarti uang itu merupakan silpa, kecuali saat mereka (red, pihak sekolah) pesan barang itu datang okelah.. sampai sebelum 31 Desember boleh dibayar. Jadi setelah tanggal 31 Desember ke atas uang itu merupakan silpa tidak boleh dibelanjakan,” kata Diona, Senin (24/2) saat ditemui di ruangannya.
Sehingga lanjut Diona, uang tersebut sudah ditarik kembali oleh pihak sekolah ke rekening sekolah, sampai menunggu barang datang, sementara berita acara serah terima belum ada, proses belum ada, baru pemesanan dalam sistim aplikasi Siplah.
“Itulah kami minta dana itu dimasukkan kembali ke rekening karena mau tutup tahun anggaran, nanti setelah dana ini pakai proses APBD perubahan, boleh mendahului, jadi tidak usah menunggu sampai bulan Oktober, jadi bulan April bolehlah. Nah itu boleh tapi proses harus diulang, dianggarkan ulang karena ini kebanyakan sekolah negeri yang memakai proses APBD seperti kita. Tidak ada kongkalikong kita,” tegasnya.
Jadi menurut Diona pihak sekolah telah menyalahi proses pembelian barang, karena barang belum ada dana sudah ditarik.
“Ini yang salah dari teman-teman sekolah yang nilainya dibawah Rp200 juta yang sudah mau dipakai oleh pihak sekolah, karena mereka telah menarik dana dari rekening namun barangnya belum tersedia, jadi kita perintahkan masukkan kembali ke rekening, bukannya kami menghambat,” terangnya.
Terkait adanya sumber dari pihak sekolah yang mengatakan bahwa pihak Dinas Pendidikan Provinsi Lampung telah menunjuk PT ADI salah satu perusahaan untuk pengadaan tersebut, Diona menyatakan bahwa pihaknya saja tidak mengenal perusahaan itu.
“ADI saja saya baru dengar, ya silahkan saja siapa yang nunjuk siapa yang memerintahkan silahkan saja cari pejabatnya yang memerintahkan itu,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, program pengadaan fasilitas akses ‘rumah belajar’ yang dibiayai dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kinerja dan Affirmasi Tahun 2019 di Kabupaten/kota di Provinsi Lampung diduga menyimpang karena menjadi ajang cari untung oknum-oknum di dinas Pendidikan Kabupaten/kota dan Provinsi Lampung.
Diketahui Provinsi Lampung tahun 2019 menerima dana Bos Kinerja mencapai Rp49.836 miliar untuk 23.341 siswa dengan penerima bantuan sebanyak 166 sekolah tersebar di kabupaten kota se Provinsi Lampung.
Sedangkan untuk Bos Affirmasi Tahun 2019 Provinsi Lampung menerima anggaran sebesar Rp105.264.000,000 diperuntukan bagi 1.339 sekolah dan 36.564 siswa.
Sejumlah dinas pendidikan kabupaten / dan dinas pendidikan di Provinsi Lampung yang seharusnya mendukung percepataan pembelajaraan digital di dunia pendidikan kenyatanya menghambat pendidikan itu sendiri.
Hingga kini masih banyak sekolah-sekolah mulai dari SD-SMP, sampai SMA/SMK di Provinsi Lampung belum memperoleh fasilitas akses rumah belajar akibat dugaan intervensi dari pejabat di dinas pendidikan kabupaten kota dan Provinsi Lampung.
Perlu diketahui anggaran dari pemerintah pusat untuk fasilitas belajar yang telah ditetapkan di dalam Permendikbud Nomor 31 Tahun 2019 itu, pengadaan untuk tablet FC dibanderol Rp2.000.000 per unit.
Kemudian Pengadaan komponen fasilitas akses ‘rumah belajar’ seharga Rp19.000.000 berupa, perangkat komputer FC, Laptop, proyektor sistem DLP, perangkat jaringan nirkabel (access point), dan perangkat penyimpanan eksternal hardisk kapasitas satu terrabyte, tipe SATA, diduga juga tidak sesuai dengan spek.
Namun fakta dilapangan banyak sekolah yang sudah melakukan pembelian tablet dibawah dari harga standar, kemudian tak sedikit sekolah khususnya SMP dan SMA /SMK yang mendapat anggaran diatas 200 juta belum melakukan pembelian karena dilarang dari dinas pendidikan, dengan dalih proyek tersebut akan ditender
Berdasarkan penelusuran dan investigasi wartawan, ditemukan sejumlah pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang dilakukan pejabat di dinas pendidikan kabupaten/kota dan pejabat di dinas pendidikan Provinsi Lampung dalam program ini, dan berpotensi merugikan negara dan memperkaya diri sendiri.
“Sekolah kita belum boleh beli pak, memang anggaran itu tahun 2019, tapi karena ada perintah dari dinas pendidikan harus lelang, makanya kita belum eksekusi,” kata salah satu kepala SMA di kabupaten Way Kanan yang minta namanya tidak dikorankan, saat diwawancarai wartawan.
Tim investigasi menemukan sejumlah SMA yang telah melakukan pembelian tablet melalui program aplikasi Siplah Blanja harus dibatalkan akibat perintah dari oknum pejabat di dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
“Kita kemarin sudah pesan lewat siplah barang sudah diantar tapi kita tolak, karena dilarang oleh dinas pendidikan Lampung, kalau kita bayar menyalahi aturan. Kami rata-rata kepala sekolah pada bingung, semua, tapi kalau kita beli malah dibilang, langgar aturan,” kata kepala sekolah di daerah Way Kanan yang minta namanya dirahasiakan.
Ia pun mengaku sampai saat ini khusus SMA/SMK penerima dana BOS Kinerja dan Affirmasi di Lampung masih bingung dan masih akan dikumpulkan oleh dinas Pendidikan Lampung terkait mekanisme.
“Katanya mau dilelang, jadi kita masih nunggu perintah dinas dulu, katanya dalam minggu-minggu ini mau dikumpulin,” ujarnya.
Temuan lainnya dalam pengadaan rumah belajar di sekolah-sekolah di Lampung banyak yang tidak sesuai spek, bahkan banyak tablet yang dibeli pihak sekolah harganya dibawah dari plapond yang sudah ditetapkan.
Bahkan PT Ad diduga lancang memiliki user name dan password milik sekolah yang biasa digunakan oleh sekolah untuk masuk program Siplah. Padahal dalam aturannya jelas bahwa pihak penyedia tidak diperkenankan mengetahui password dan usrename Program Siplah dari sekolah.
“Kita memang diarahkan ke PT AD, dan PT AD itu yang minta password dan user name, namanya perintah sudah dikoordinasikan. Kami tidak bisa apa-apa,” ujar kepala sekolah yang enggan namaya disebutkan.
Nanang Manager PT AD yang dikonfirmasi wartawan melalui ponselnya tidak dapat dihubungi sebanyak tiga kali. Wartawan pun coba mengirim pesan unttuk konfirmasi melalui WhatsApp, namun pesan hanya dibaca, dan tidak balas.
Namun tak berselang lama WhatApp milik wartawan langsung diblokir.
Wartawan pun mencoba mengkonfirmasi Kabid Pembinaan SMA dinas Pendidikan Provinsi Lampung Diona Kathrina melalui ponselnya tak direspon. Pesan singkat yang dikirim pun tak dibalas.
Hal senada pun dengan Kadis Pendidikan Provinsi Lampung Sulpakar saat dihubungi melalui ponselnya pun tidak aktif . (roni)