Oleh : `Hengky Yohanes
(Komite Teater dan Sinematografi (DK-PALI)
KESENIAN adalah sebuah kecerdasan!!, kalau ingin agak sedikit superior, bisa dikatakan sebagai anugerah. Mengapa, pasalnya populasi seniman lebih sedikit jika dibandingkan jumlah koruptor yang baru top di Indonesia sejak 2004 atau sejalan dibentuknya KPK.
Loh, apa kaitanya seni dengan koruptor? Tentu saja tidak ada, karena seniman yang paham arti seni tidak akan melakukan suatu perbuatan tidak seronok seperti yang dilakukan koruptor yang makin kesini sudah dianggap sebagai sebuah kejahatan extra ordinary.
Dilalah, notifikasi pesan whatsapp saya berdenting. “Kak, bisa telpon aku dak, penting..” dari seorang sahabat yang singkat cerita meminta Saya dapat membantunya dalam suksesi acara “Diskusi Panel Seniman” yang digelar oleh Ikatan Pelaku Seni (IPS) PALI. Tanpa berpikir berapa honor yang bisa didapat dari panitia atas job Saya sebagai moderator dan bahkan akan Saya tunda janji bertemu dengan seorang menteri (hahaha,, ngarep) demi dapat menghadiri acara tersebut.
Ada geletar bahagia yang Saya rasakan saat panitia mengabarkan panelis yang telah mengkonfirmasi kehadiran salah satunya mewakili pemerintah, termasuk panitia sepakat dengan apa yang Saya usulkan dalam acara diskusi panel tersebut agar dapat membahas tentang keberadaan Dewan Kesenian.
Iseng, Saya buka kembali direktori file tentang Surat Keputusan Bupati PALI tentang “Pengesahan Pengurus Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir Periode 2014-2019”. Benar saja, sudah sejak bulan April masa bakti kepengurusan telah berakhir. Ironis memang apabila diceritakan “bak menepuk air di dulang” malu, mungkin kata yang paling pas menggambarkan situasi ini. Rantang satu periode tidak ada yang diperbuat oleh DK-PALI setelah kali pertama dan terakhir menggelar “Festival Kebudayaan dan Apresiasi Seni” di penghujung tahun 2015.
Staknansi ini terjadi akibat adanya konflik internal pengurus yang mengalami kesenjangan hak perlakuan. Sebagian kelompok mendapat honor pengurus, sebagian lagi tidak. Saya sendiri sih berada dikelompok yang mendapat honor. Namun demikian, Saya juga yang getol memperjuangkanna. Sampai-sampai Saya rela menggelar aksi (unjuk rasa) di depan Kantor DPRD PALI demi tujuan menyelamatkan DK-PALI yang berada diambang kehancuran. Namun demikian dan bahkan laporan kepolisian dibuat tetap saja DK mandek tanpa aktifitas sampai sekarang. Ah, sudahlah daripada ngurusin cek cok pengurus, mending nulis lagi.
Lalu, tidaklah berlebihan dengan pendapat Saya tentang kesenian yang dijadikan sebagai lahan penghidupan, toh sah sah sajakan. Seniman juga punya keluarga yang ingin hidupnya sejahtera. Seniman perlu kertas untuk menulis, perlu kanvas untuk melukis begitu seterusnya karena media kesenian tidak lantas turun dari langit.
Pelaku seni dan bahkan organisasi kesenian memang dekat dengan perang mulut. Tidak sedikit pula berujung pada adu fisik. Hanya saja, saya pikir, tempat terbaik adu fisik adalah ring tinju, sementara di dunia seni, yang boleh terjadi hanyalah adu kreatifitas. Maka, ketika kesenian sudah kian mendekati perpecahan, idealnya pelindung dan penasehat Dewan Kesenialah yang mengambil alih menjadi peneraju.
Pembentukan dan/atau adanya Dewan Kesenenian Daerah berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5A tahun 1994 seperti sudah menjadi perkara serius. Bahkan, jika diperinci, kepala daerah adalah golonagn pertama yang bertanggung jawab, bilamana daerah yang dipimpinnya tidak mempunyai dewan kesenian.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) halaman 289 terbitan Balai Pustaka Edisi Ketiga, lema “Dewan”, ketika berdiri bebas, punya dua arti; 1. Majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasihat, memutuskan suatu hal, dsb dengan jalan berunding; 2. Mahkamah (tinggi).
Sementara kesenian yang berakar pada lema seni, pada kitab yang sama, tertera pada halaman 1087. Di situ, lema ini bisa bermakna adjektiva dan kata benda. Sebagai adjektiva, seni adalah: 1. Halus dan kecil, tipis dan halus (tentang rabaaan); 2. Lembut dan tinggi (tentang suara); 3. Mungil dan elok (tentang badan). Sedangkan ketika berposisi kata benda, seni adalah: 1. Keahlian membuat karya yang elok-elok atau indah; 2. Karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa; 3.Kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa); 4. Orang yang berkesanggupan luar biasa atau genius.
Maka, ketika dipadu-padankan, dua lema itu menjadi satu frasa: Dewan Kesenian. Diartikan sederhana, adalah lembaga yang mengurusi, mengambil peduli, dan menasihati segala hal berkaitan dengan kemampuan seseorang menciptakan karya luar biasa yang menyentuh indrawi.
Dewan Kesenian Hanya Sebagai Wadah
Bila dewan itu sekadar wadah, Chairil Anwar tidak punya wadah. Tapi ia menjelma binatang jalang yang mewah. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kesenian itu kemampuan. Kemampuan itu adalah kecakapan yang diperoleh setelah melakukan latihan.
Sama halnya ketika masa kanak-kanak belajar naik sepeda. Usai mampu mengayuh, bukankah hasrat untuk bersepeda kita kian menggelora. Akan tetapi, bilamana setelah mampu, kita malah meninggalkan sepeda di halaman rumah, sadar atau tidak, kita sudah mencederai hati orang tua yang telah menyisihkan pendapatannya untuk membahagiakan kita. Begitu juga kesenian, setelah mampu dan berhenti, pertanda alangkah sempurnanya kita memahami puisi Chairil; sekali hidup setelah itu mati.
Rakyat saja bisa bahagia tanpa dewan? Mengapa tidak dengan seniman? Tapi, di satu sisi rakyat juga butuh dewan. Begitu juga seniman. Oleh karena itu, perlu dipikir secara runut dan memutar roda logika, mencari tahu alasan kesenian memerlukan dewan.
Idealnya, ketika kesenian memiliki dewan, berkesenian jadi lebih aman dan mapan. Aman bekreasi, tanpa khawatir dikuntit sifat iri dan dengki. Mapan, dengan tidak melupakan anak-bini. Mari memaknai Musyawarah Seniman Daerah yang digagas Pemerintah Kabupaten PALI untuk dapat bersama dapat menentukan arah kebijakan berkesenian. (*)