Jakarta, (Mediamerdeka.co)– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan tahun ajaran baru tetap dimulai pada pertengahan Juli 2020.
Kendati demikian, tetap dilaksanakannya pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau tidak masih menunggu kajian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19.
“Dengan dimulainya PPDB (penerimaan peserta didik baru) ini, sudah jelas bahwa kita tidak memundurkan kalender pendidikan itu ke Januari. Kenapa? Karena kalau dimundurkan ada beberapa konsekuensi yang harus disinkronkan,” kata Plt Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Hamid Muhammad dalam konferensi video, Kamis (28/5).
Beberapa sinkronisasi tersebut misalnya terkait dengan jalannya perkuliahan di perguruan tinggi. Saat ini, perguruan tinggi sudah melakukan seleksi SNMPTN dan untuk SBMPTN akan segera dilakukan pada Juli 2020.
DPR RI Minta Kemendibud Susun Sistem Tahun Ajaran Baru
Selain itu, kelulusan siswa SMA dan SMP sudah ditetapkan. Apabila tahun ajaran baru diundur maka akan muncul kebingungan kebijakan lanjutan bagi para lulusan ini. “Nah, tahun ajarannya mulainya tetap sama. Tapi, pola pembelajarannya yang mungkin akan berbeda,” kata Hamid.
Ia menegaskan, meskipun tahun ajaran baru dimulai pada pertengahan Juli, bukan berarti sekolah tatap muka juga dilakukan pada waktu yang sama. Perihal kegiatan belajar-mengajar secara langsung di sekolah masih akan dikaji oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19.
Hamid mengatakan, ada kemungkinan sebagian besar sekolah tetap akan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), terutama bagi sekolah-sekolah yang berada di zona merah dan zona kuning. “Nah, nanti mekanismenya tolong menunggu pengumuman dari Pak Menteri (Menteri Pendidikan Nadiem Makarim), mungkin pekan depan seperti apa syaratnya, dan seterusnya,” kata dia lagi.
Ia mencontohkan, saat ini ada 108 kabupaten yang selama dua bulan ini belum terdapat kasus Covid-19. Misalnya zona hijau di Sumba Barat Daya yang selama ini sekolahnya masih menerapkan tatap muka seperti biasa.
Sebelum pernyataan Kemendikbud tersebut, muncul penolakan di media sosial soal rencana dibukanya sekolah-sekolah seturut skema kelaziman baru (new normal). Ini menyusul libur sekolah tengah tahun dan persiapan masuk sekolah bagi siswa baru maupun yang tengah belajar. Petisi yang diunggah di Change.org terkait permintaan penundaan tahun ajaran baru tersebut hingga Kamis (28/5) sore sudah ditandatangani sedikitnya 30 ribu warganet.
Handa Handoko, pembuat petisi mengkhawatirkan bakal terjadi penularan baru jika sekolah-sekolah dibuka sebelum pandemi benar-benar tuntas. Ia kemudian mencontohkan penularan yang terjadi di sekolah-sekolah di Prancis dan Finlandia begitu sekolah dibuka kembali.
Keselamatan prioritas
Memandang situasi saat ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai pemerintah sebaiknya memperpanjang metode PJJ. Namun, Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim menilai pemerintah tidak perlu menggeser tahun ajaran baru 2020/2021. “Hanya pembelajaran masih dengan metode PJJ,” kata Satriwan, Kamis (28/5).
FSGI menekankan, dalam wabah Covid-19 ini, keselamatan dan kesehatan siswa dan guru adalah hal prioritas. Sekolah dan madrasah jangan sampai menjadi klaster terbaru penyebaran Covid-19. “Ini sangat menakutkan bagi siswa, orang tua, dan guru,” kata Satriwan.
Perpanjangan PJJ bisa dilakukan selama satu semester hingga akhir Desember atau setiaknya hingga pertengahan semester ganjil. Tentunya, lanjut Satriwan, pilihan perpanjangan PJJ ini dengan perbaikan-perbaikan. Misalnya, jaminan keadilan oleh pemerintah terhadap akses internet dan gawai yang tidak dimiliki semua siswa.
Mengapa tidak memilih menunda tahun ajaran? FSGI menilai penundaan tahun ajaran baru justru berisiko bagi sistem pendidikan nasional. Beberapa hal yang mungkin terpengaruh adalah eksistensi sekolah swasta, pendapatan guru swasta, psikologis siswa, dan sinkronisasi dengan perguruan tinggi.
Selain itu, akan ada risiko ekonomi yang besar jika tahun ajaran baru diundur. Sekolah swasta akan menjadi salah satu yang terdampak paling besar. “Orang tua menilai pengeluaran sekolah tak besar selama PJJ. Maka, mereka membayar SPP separuh, dan ini berimplikasi kepada gaji guru swasta,” kata Satriwan menambahkan.
Sebaliknya, Ikatan Guru Indonesia (IGI) menilai tahun ajaran baru akan lebih baik jika digeser ke bulan Januari. Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim menjelaskan, apabila ditegaskan tahun ajaran baru dimulai Januari, akan membuat pendidikan memiliki langkah yang jelas. “Terutama terkait minimnya jumlah guru yang memiliki kemampuan tinggi dalam menjalan pendidikan jarak jauh online,” kata Ramli, Kamis (28/5).
Data Kemendikbud dari Ditjen Dikdasmen menunjukkan, 60 persen guru bermasalah dalam PJJ. Sebab, mereka yang bermasalah ini tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam penguasaan teknologi. “Jika penguasaan teknologi saja lebih dari 60 persen bermasalah, maka bagaimana kita bisa berharap guru menghadirkan PJJ yang menyenangkan dan berkualitas?” kata Ramli lagi.
Apabila tahun ajaran baru digeser, Kemendikbud bisa berfokus meningkatkan kompetensi guru selama enam bulan ke depan. “Jika tatap muka dipaksakan, orang tua stres. Mengapa? Anaknya tak ke sekolah takut dihukum oleh sekolah. Jika anaknya ke sekolah, takut tertular virus,” kata dia.
Meski demikian, Ramli mengatakan, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal jika memutuskan akan menggeser tahun ajaran baru. Pertama, pemerintah harus menjamin semua guru, baik PNS maupun non-PNS, mendapatkan pendapatan yang layak, paling tidak untuk kebutuhan sehari-hari.
Pemerintah juga harus tetap memberikan biaya operasional dasar sekolah, paling tidak untuk menjaga sekolah tetap bersih dan terjaga. “Hal ini sesungguhnya dibutuhkan, terutama oleh sekolah-sekolah swasta,” kata Ramli.
Sementara itu, dari segi kesehatan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menilai anak-anak dapat kembali bersekolah saat kasus harian Covid-19 terus menurun minimal selama 14 hari. Pembukaan sekolah saat penularan masih tinggi akan membuat anak-anak bercampur baur dan menyebabkan penularan semakin meluas.
Anggota IDAI, Soedjatmiko, menyebutkan, jumlah murid pendidikan anak usia dini (PAUD) saat ini sekitar 5 juta orang, sekolah dasar (SD) 30 juta, sekolah menengah pertama (SMP) 13 juta, sekolah menengah atas (SMA) 12 juta, dan mahasiswa sekitar 2,5 juta orang. Artinya, ia menyebutkan, total sekitar sebanyak 62,5 juta anak di Tanah Air.
Di tambah kehadiran pengantar-jemput, sopir, guru, petugas keamanan, pedagang warung sekolah, penjagajarakan di sekolah akan sukar diterapkan. “Orang dewasa saja tidak bisa (mengendalikan), apalagi anak! Penularan Covid-19 akan meluas ke mana-mana,” ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (28/5). Sedangkan, jika diterapkan 50 persen kapasitas kelas secara bergantian, maka beban mengajar guru karena akan menjadi dua kali lipat.
Nanti jika pemerintah memutuskan membuka sekolah-sekolah, Soedjatmiko juga menyarankan dilakukan pemetaan mikro, sehingga bisa dibuat pembatasan khas di wilayah kecil sesuai kajian epidemologis yang akurat. “Bukan cari gampang, bukan berdasar keinginan pribadi atau politis,” katanya.
Waspada kematian
Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Nahar mengatakan, kasus anak yang meninggal karena Covid-19 harus menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia.
“Posisi saat ini, terdapat 21 anak meninggal karena Covid-19. Data ini harus menjadi penanda untuk mewaspadai kemungkinan-kemungkinan terburuk,” kata Nahar dalam seminar daring, Kamis (28/5).
Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Anak, Valentina Gintings mengatakan, anak yang terpapar Covid-19 perlu penanganan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. “Orang dewasa bisa melakukan isolasi mandiri, sementara anak tidak bisa,” katanya.
Secara nasional, jumlah anak-anak usia 0-5 tahun yang positif hingga Rabu (27/5) mencapai 2,2 persen dari total kasus, atau sekitar 525 orang dari 23,851 kasus terkonfirmasi. Sementara itu, kasus positif usia 6-17 tahun pada 5,5 persen dari total atau sekitar 1.312 orang. Angka kematian anak usia 0-5 tahun secara nasional mencapai 12 kematian atau 0,8 persen dari total 1.473 kematian dan usia 6-17 pada 0,6 persen (sembilan kematian).
Dengan angka-angka tersebut, tingkat kematian usia 0-5 tahun berada pada kisaran 2,2 persen dan tingkat kematian usia 6-17 tahun pada 0,7 persen. Bila kedua kelompok itu digabungkan, tingkat kematiannya 1,1 persen alias 21 dari total 1.873 kematian pada gabungan kelompok umur tersebut.
Bagaimanapun, angka secara nasional tersebut belum tentu angka sebenarnya. Tak semua data kematian dan penularan dari daerah disertakan dalam data pusat. Selain itu, kematian anak-anak dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) yang tak dimasukkan ke statistik.
Di Jepang, misalnya, merujuk data Kementerian Kesehatan hingga Kamis (28/5), tak orang berusia di bawah 20 tahun yang meninggal akibat Covid-19.
Sementara di Cina, merujuk data Pusat Penelitian dan Pencegahan Penyakit Cina, tingkat kematian anak di bawah sembilan tahun adalah nol persen, sedangkan anak usia 10-19 tahun adalah 0,18 persen. Di Amerika Serikat, menurut pendataan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), mencatat tak ada kematian dari 47.857 anak usia 0-17 yang terjangkit Covid-19.(***).
Sumber : republika.id