Bandarlampung (Mediamerdeka.co)- Musim hujan saat ini dirasakan seolah bukan lagi sebagai Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk alam. Karena telah menjadi malapetaka bagi sebagian pihak terutama yang ada di pemukiman lembah-lembah bukit dan kawasan resapan air serta yang berada di hamparan daerah aliran sungai di sejumlah daerah termasuk di Kota Bandarlampung.
Menyikapi kejadian longsor dan banjir yang sering terjadi di Lampung, Ketua Dewan Pembina Teras Hijau Provinsi Lampung Imam Untung Slamet menyampaikan sikap keperihatinannya atas musibah yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat.
“Musibah dan bencana yang dialami oleh sebagian masyarakat di Bandarlampung atas banjir dan tanah longsor diduga karena kebijakan dan penanganan terhadap lingkungan tidak ramah dan eksploitasi yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan,” kata Imam Untung Slamet yang akrab disapa Jiun ini, Rabu (19/2/2020).
Berdasarkan pantauan Teras Hijau di lapangan, hingga saat ini ditemukan beberapa titik bukit yang sedang di eksploitasi yakni dari arah Antasari menuju Panjang Bandarlampung. Terlepas dari siapa yang menerbitkan izinnya, namun Pemerintah Kota Bandarlampung harus tegas atas kondisi ini. “Perlu sikap yang tegas dengan langkah-langkah kongkrit dalam menghijaukan kembali bukit-bukit yang sudah terlanjur digusur tersebut,” papar Jiun.
Sebagai penangungjawab penguasaan dan pengelolaan wilayah, Pemerintah Kota Bandarlampung hendaknya selain berorientasi untuk membangun infrastruktur yang sifatnya mercusuar, juga harus memiliki solusi atas musibah dan bencana tanah longsor dan banjir saat hujan.
“Saat ini jika ada bencana dipastikan bantuan mengalir, akan tetapi tidak menyelesaikan masalah. Jika penyebab bencana alam tidak dibenahi, minimal ada konsep untuk memperbaiki kondisi alam pasca terbitnya perizinan dan berakhirnya eksplorasi oleh pengembang,” desaknya.
Selama puluhan tahun, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung setidaknya ada 33 bukit di Bandarlampung yang mengalami kerusakan diduga tanpa disentuh dengan program penghijauan kembali dengan tanaman atau tumbuhan keras yang bernilai ekologi dalam penyelamatan lingkungan. Misalnya dengan penanaman akar wangi sebagai rerumputan yang bisa mengikat tanah agar tidak tergerus resapan air hujan yang membuat potensi tanah longsor.
“Bukit-bukit yang rusak ini harus dilakukan pengembalian fungsi karena jika tidak dilakukan, maka merupakan ancaman bagi ekosistem yang ada di dalamnya dan sekaligus merupakan ancaman bencana bagi masyarakat yang telah terlanjur bermukim disekitarnya,” tambah Jiun.
Kedepan, pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang berbasis penyelamatan lingkungan. Perlu menjadi pertimbangan, pembangunan yang berkelanjutan itu mengisyaratkan adanya program pengembalian kondisi daya dukung lingkungan yang terlanjur rusak oleh eksploitasi atas nama aturan.
“Kalau orientasi pada pembanguan infrastruktur semata tanpa memperdulikan kondisi lingkungan, maka bencana alam sebagai serangan balik alam atas perilaku manusia akan menjadi malapetaka yang berkepanjangan. Oleh karenanya, perlu sikap yang tegas atas nasib bukit dan kawasan resapan serta Daerah aliran Sungai di Bandarlampung. Jangan hanya hijau karena izin eksploitasi, tapi harus hijau karena lingkungan,” pungkas Jiun.(red/wr)