Warning: getimagesize(https://mediamerdeka.co/wp-content/uploads/2019/02/IMG-20190212-WA0038.jpg): Failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.1 404 Not Found in /home/u711060917/domains/mediamerdeka.co/public_html/wp-content/plugins/easy-social-share-buttons3/lib/modules/social-share-optimization/class-opengraph.php on line 611

Akibat Apdesi Reaktif, Dana Desa Pesisir Barat Jadi Isu Nasional

Loading

Media merdeka.co – Dana Desa memang Rentan Korupsi, jika tidak diawasi dan dikritisi akan membuat para Kepala Desa terperosok ke ranah korupsi. Reaktifnya Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) Kabupaten Pesisir Barat terhadap Kinerja DPRD Pesisir Barat yang menyoroti penggunaan dana desa di 2 pekon (desa-Red) yakni Sumber Agung Kecamatan Ngambur dan Way Jambu Kecamatan Pesisir Selatan di Kabupaten Pesisir Barat sangat merugikan stabilitas Pemerintahan di Kabupaten ini.

Isu yang beredar bahwa dana desa di kabupaten Pesisir Barat yang dituduhkan oleh LSM dan Wartawan setempat diduga ada setoran pengamanan ke Aparat Hukum makin jelas dengan tidak reaktifnya pihak Kejaksaan dan Kepolisian setempat terhadap dugaan penyimpangan dana desa di 2 pekon tersebut. Ditambah mandulnya Inspektorat kabupaten Pesisir Barat.

Seperti diketahui Ketua Apdesi setempat Arief Mufti usai Ketua DPRD Pesisir Barat Piddinuri menyurati BPK RI Perwakilan Lampung untuk memeriksa 2 peratin di Pesisir Barat yang berdasar laporan masyarakat menyalahgunakan dana desa. Apdesi setempat balik melaporkan DPRD Ke BPK untuk mengaudit Dana Bimtek DPRD Pesisir Barat.

Selain itu, Arief Mufti bukan malah mengambil inisiatif mediasi tapi malah reaktif dengan mengancam berdemo. Diduga Melalui WhatsApp (WA) nya, Peratin Kampung Jawa Kecamatan Pesisir Tengah tersebut menggalang dukungan ke seluruh peratin (Kepala Desa-Red) di Pesisir Barat bahkan Apdesi se-Lampung untuk mengadakan demonstrasi ke Kantor DPRD, dengan isu seolah yang disurati DPRD untuk diperiksa adalah Seluruh Peratin.

Ulah Arief ini disesalkan oleh Anggota DPRD Pesisir Barat Fraksi Demokrat April Liswar, “Mengawasi Anggaran dan Kinerja Aparat adalah Tugas Pokok Anggota DPRD. Demo tersebut merugikan Apdesi dan Pribadi peratin bahkan Pesisir Barat. Semula isu tentang dana desa hanya isu lokal. Kini jadi isu Nasional mengingat Anggota DPRD Pesisir Barat disamping sebagai Wakil Rakyat juga sebagai perwakilan Partai di Kabupaten masing-masing”.

“Partai itu sama dengan Apdesi ada Pimpinan Pusat nya, ada Pimpinan Provinsinya, bahkan ada Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPR RI Pusat nya. Jadi langkah Arief tersebut membuat Dana Desa Pesisir Barat menjadi isu Nasional, semua mata tertuju ke Kabupaten ini. Bukan tidak mungkin tadinya hanya 2 pekon (desa) yang disorot, selanjutnya semua akan jadi perhatian mulai dari LSM, Wartawan, Aparat Hukum, BPK bahkan KPK RI”, Tambah Mantan Ketua LSM WAY tersebut.

Anggota DPRD Pesisir Barat dari Fraksi PDI Perjuangan Basis Efendi mengaku heran dengan Ulah Apdesi yang menurutnya sudah Offside, “Dalam demo kemarin nampak sekali Apdesi mengusung kepentingan Politik Penguasa Eksekutif Pesisir Barat. Dimulai dari Camat yang mengkordinir Peratin dan Perangkat desa nya untuk berangkat demo sampai Tuntutan pendemo agar Ketua DPRD Pesisir Barat Mundur, Ini kan tidak masuk akal. Bukti lainnya saat 2 Peratin yang sudah terpilih tidak dilantik padahal semua tahapan Pemilihan Peratin sudah selesai. Bahkan DPRD Pesisir Barat sudah merekomendasikan agar Bupati Agus Istiqlal Segera melantik Peratin Sukanegeri dan Sukamarga Kecamatan Bengkunat, Apdesi malah diam saja. Padahal Peratin yang tidak kunjung dilantik tersebut adalah Anggota Apdesi”.

Secara Nasional, Ada catatan merah perihal dana desa akibat tingginya angka korupsi. Yang semakin membuat miris, anggaran desa menempati peringkat korupsi terbanyak dari 9 sektor lainnya pada 2018.

Indonesia Corruption Watch (ICW) baru saja merilis laporan bertajuk Tren Penindakan Korupsi 2018. Jumlah kasus mencapai 454 kejadian dengan kerugian negara Rp5,6 triliun. Kasus itu melibatkan 1.087 tersangka.

Dari data nasional tersebut, korupsi sektor anggaran desa mencapai 96 kasus dengan kerugian negara Rp37,2 miliar. Perinciannya, proyek infrastruktur 49 kasus dengan nilai kerugian Rp17,1 miliar, dan non infrastruktur sebanyak 47 kasus dengan kerugian Rp20 miliar.

Anggaran desa yang paling rawan dikorupsi mencakup tiga sub sektor, yakni Anggaran Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), dan Pendapatan Asli Desa (PAdes). Selain itu, sektor sosial kemasyarakatan, seperti dana bencana alam, juga rentan disalahgunakan.

Peneliti ICW Egi Primayogha menyampaikan, modus korupsi dana desa bisa bermacam-macam, bergantung kepada titik rawannya. Ada empat titik yang rawan penyelewengan, yakni perencanaan anggaran, evaluasi penyaluran anggaran, implementasi anggaran, dan PAdes.

“Berdasarkan penelitian sepanjang 2018, kami identifikasi ada 4 titik yang rawan korupsi dana desa,” tuturnya, Senin (11/2/2019).

Berbagai bentuk korupsi yang terjadi ialah mem-plotting atau mengatur pengerjaan proyek, membuat proyek fiktif, dan manipulasi tender. Pelaku korupsi dana desa umumnya ialah kepala desa, tetapi tidak menutup kemungkinan perangkat lain, seperti camat, Bupati turut terlibat.

Sebagai aktor pelaku korupsi, kepala desa mencapai 102 orang pada 2018. Selanjutnya, kepala daerah sebanyak 37 orang, dan aparat desa sejumlah 22 orang. Kepala daerah mencakup gubernur 2 orang, wali kota dan wakilnya 7 orang, serta bupati 28 orang.
Pada 2018, pemerintah kabupaten menjadi lembaga dengan jumlah korupsi tertinggi, yakni 170 kasus dengan nilai kerugian negara Rp833 miliar.

Adapun, pemerintah desa berada di urutan kedua dengan 104 kasus dan nilai kerugian hingga Rp1,2 triliun.
Bila melihat pemetaan korupsi berdasarkan 10 lembaga tertinggi pada 2018, sekitar 89% kasus terjadi di pemerintah daerah, yakni di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan desa.

Untuk memerangi kasus korupsi di pedesaan, Egi memberikan sejumlah rekomendasi.

Pertama, warga dan perangkat desa harus kritis serta aktif memantau aliran dana desa. Jangan sampai anggaran itu diselewengkan oleh pemerintah daerah, ataupun pemerintah pusat.

Kedua, Inspektorat Daerah harus mengetatkan pengawasan anggaran desa. Independensi di Inspektorat Daerah juga diperlukan agar tidak ada intervensi yang dilakukan Kepala Daerah terkait fungsi pengawasan.

Harapannya dengan berkurangnya kasus korupsi di tingkat pemerintah daerah dan juga pusat, penggunaan dana desa dapat lebih optimal dan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

Sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menyampaikan, dalam lima tahun ini persentase penyerapan dana desa terus membaik. Berdasarkan data, dana desa tahun 2015 sebesar Rp 20,67 Triliun dengan penyerapan 82,72% dan 2016 dana desa Rp 46,98 Triliun dengan penyerapan 97,6%.

Selanjutnya, pada 2017 dengan jumlah dana desa sebesar Rp 60 Triliun dengan penyerapan 98,54%. Pada 2018 jumlah dana desa sebesar Rp 60 Triliun dengan penyerapannya 99%. Pada 2019, dana desa ditingkatkan menjadi Rp70 triliun. (*)

Berita Terkait

Pj. Gubernur Samsudin Hadiri Pendidikan Menengah Kepemimpinan Nahdlatul Ulama Angkatan II

LAMPUNG SELATAN (MM) – Pj. Gubernur Lampung Samsudin menghadiri acara Pendidikan Menengah Kepemimpinan (PMK) Nahdlatul …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *