Mediamerdeka.co- Political will Gubernur Lampung M Ridho Ficardo terhadap hak-hak konstitusional hak asasi manusia, terutama masyarakat miskin di Lampung dipertanyakan. Jaminan masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum gratis, selama kepemimpinan Ridho Ficardo hanya menjadi bagian tumpukan Perda yang tak berjalan.
Perda Bantuan Hukum yang sudah disahkan sejak tahun 2015, hingga kini mangkrak, dan tak berjalan tanpa Peraturan Gubernur. Ironisnya, Gubernur yang dianggap tanpa karya kara ramah hak asasi manusia di Lampung itu, dua kali meraih penghargaan dari Kemenhum dan Ham Perwakilan Lampung.
Hal itu terungkap dalam acara Media Briefing tentang perluasan akses terhadap keadilan melalui perda bantuan hukum, yang digagas Tifa bersama Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unila, Kamis (27/9/2018).
“Banyak kasus masyarakat miskin terkait hukum. Lalu muncul payung hukum agar masyarakat dapat bantuan hukum gratis, dan Lampung sudah ada Perda Bantuan Hukum, yang sejak 2015 kita bahas, ternyata belum tuntas,” kata Ketua AJI Lampung, M Fadli, saat menjadi pembicara, bersama Akademisi DR Budiono, Erika perwakilan Kemenhum dan Ham Lampung, Chandra Mulyawan, LBH Bandar Lampung.
Hal itu, kata Fadli, menunjukkan Political will Gubernur Lampung Ridho Ficardo yang patut dipertanyakan, terkait perjuangan hak konstitusional warga, yang menjadi bagian hak asasi manusia. “Tapi yang aneh menurut saya, tidak pernah ada karya karya ramah hak asasi, dan kebutuhan rakyat miskin, tapi dua kali dapat penghargaan Kemnhum dan Ham, atau mungkin ada penilaian lain,” katanya.
Jika terkait anggaran, kata Fadli, belajar dari tulisan Tempo, tentang Menteri Susi, yang selalu mencoret setiap usulan anggaran yang isinys sosialisasi, acara acara seremoni, dan selama tiga tahun mampu menghemat anggaran Rp3 triliun. “Menteri Susi, berani mencoret anggaran yang tak perlu. Anggara digeser untuk keberpihakan pada kepentingan rakyat. Tiga Tahun hemat 3 triliun. Meski Lampung harus berani itu,” katanya Fadli, dipandu Moderator Chandra Bangkit.
Wartawan Senior, dan akademisi, Budiman juga mengkritik Pemerintahan Provinsi Lampung, terakit politicall will eksekutif dan legislatif, yang harus duduk bersama dengan segenap stakeholders lintas sektoral membangun akselerasi pemahaman, regulasi, kebijakan dan aksi nyata untuk menyediakan ruang seluas-luasnya bagi pemberdayaan masyarakat miskin.
“Saya contohkan DKI sejak jama Ali Sadikin, clear dan sangat kuat. Lalu Palembang, pemerintah berikan anggaran, asaal tidak digunakan untuk gugat pemerintah. Nah di Lampung, ini lucu. saya tidak sebut seperti kata Fadli, kepemimpinan lemah. Harusnya tumbuh bukan karena anggaran tapi kepentingan membantu rakyat miskin yang butuh pendampingan hukum. Provinsi sudah ada Perda apa lagi, Kota Bandarlampung malah clear, saya kira ya Polistical will, dipertanyakan,” katanya.
Pembicara lainnya, Candra Mulya, dari LBH Bandar Lampung, yang selaku bagian dari penggagas dan Tim kerja Perda Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin gratis itu membenarkan, bahwa Perda bantuan hukum gratis itu sudah sejak tahun 2015 lalu. “Tapi memang hingga kini tidak jalan. Pergub tak ada. Sempat dianggarkan, tapi tidak juga jalan,” kata Candra.
Menurut Candra, bahwa Lampung sebenarnya menjadi pilotprojec Nasional, tentang perluasan akses keadilan. Yang kemudian melahirkan Kepres 59/2017. “Disana sudah diatus bagiamana peran peran masyarakat termasuk akademis. Dan memang di Lampung tinggal menunggu bagaaiman Politicall will-nya,” kata Candra, yang kini bersama tim sedang melakukan riset tentang bantuan hukum gratis.
Hal senada, terkait political will, pemerintah daerah dikatakan akademisi DR Budiono, yang juga mengaku sudah banyak memberikan masukan kepada pemerintah terutama Provinsi Lampung. “Saya tidak kurang kurang menyampaikan baik secara tertulis, dan lisan kepada Biro Hukum Provinsi Lampung. Jika Perda di Provinsi saja tidak jalan, bagaimana bagaimana mau mengembangkan ke daerah,” kata Budiono.
Budiono mengakui sepertinya pemerintah Provisni Lampung gamang terkait pelaksanaan Perda Bantuan Hukum, terutama terkait bantuan anggarannya. “Dulu bicara tidak ada payung hukumnya, sekarang sudah ada patung hukumnya, bingung anggarannya, melalui satker nama, dan bagaimana mekanismenya. Padahal tinggal diperkuat melalui Peraturan Gubernur. Lalu gunakan otoritas sebagai kepala daerah, siapa liding sektornya, dan ini aturan mainnya, selesai,” katanya.
Budiono menceritakan, Perda Bantuan Hukum Lampung itu awalnya muncul dari inisiatif dewan, yang kemudian melalui kajian kajian akdemis, kemudian disetujui dan disahkan. “Yang saya dengan itu, masalahnya teknis sekali. Seperti kok menjadi menjadi ketakutan, Satker A takut, B tak mau, satker C bingung, padahl tinggal ketegasan pimpinannya, ya itu lagi political will. Sudah berkali kali sarankan biro hukum tapi tak juga jalan, DPRD tak lakukan pengawasan, kan kasian masyarakat,” katanya.
Budiono, juga berharap jangan sampai proses membuat Perda itu hanya dijadikan alat pencitraan, dan tanpa dilakukan pengawasan, “Anehkan ada perda hak asasi, tapi tak jalan, terkesan jadi pencintraan saja. Dan disini, pengawasan oleh DPRD juga patut dipertanyakan. Pemda punya deskresi, lakukan itikad baik membantu rakyat miskin, yang menjadi hak hak konstitusional masyarakat,” katanya.
Sementara, Erika, dari Kanwil Kemenhum dan Ham Lampung, menyatakan bahwa penyelenggara bantuan hukum adalah Kementerian Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum (lembaga/ormas) atau Oragnisasi bantuan hukum (OBH).
Kementerian Hukum dan HAM berwenang untuk mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum sesuai dengan asas dan tujuannya. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM berwenang dalam melakukan verifikasi dan akreditasi lembaga atau organisasi masyarakat yang memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum.
“Bahwa terkait Peraturan daerah pihaknya bersikap pasif . Kita mengacu pada UU 16/2011, kemenhum dan ham melakukan verifikasi dan agreditasi, dan selama ini kita aktif membangun harmonisasi, tapi ya lagi lagi tergantung progres dari Pemerintah daerah,” kata Erika.
Erika menjelaskan, pemberi bantuan hukum berbentuk atau OBH, adalah yang berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor, pengurus dan program bantuan hukum. Pemberi bantuan hukum memiliki hak untuk melakukan layanan/jasa bantuan hukum, rekruitmen advokat, penyuluhan hukum serta menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum.
“Terkait itu di Lampung sebelumnya terdapat 18 organisasi bantuan hukum yang mendaftar ke Kemnhum dan ham Lampung, lalu dilakukan verifikasi, dan yang layak ada 8 organisasi bantuan hukum di Lampung. “Setiap tiga tahun sekali verifikasi ulang. Lampung aktif, anggaran Rp768jt tahun 2017 habis,” katanya.(red/wr)