Jakarta, (Mediamerdeka.co)- Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana mengatakan, dalam skema baru dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa digunakan untuk membayar gaji guru honorer. Penggunaannya maksimal sebesar 50 persen dari dana BOS.
“Penggunaan dana BOS itu bisa dipakai untuk pembayaran honor guru, tapi maksimum 50 persen. Sebelumnya hanya sekitar 20 persen,” kata Erlangga dalam diskusi Polemik Trijaya dengan tema ‘Skema Dana Bos, Kenapa Diubah?’ di Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).
Namun, sambung Erlangga, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum melakukan hal tersebut. Di antaranya adalah guru yang dapat menerima honor dari dana BOS bukanlah guru yang baru direkrut tahun 2020. Selain itu, guru tersebut juga harus memiliki Nomor Unit Pendidikan Terakhir Kependidikan (NUPTK).
“Tapi syaratnya guru yang dibayarkan dengan dana BOS tadi, pertama, tidak boleh guru yang baru direkrut tahun 2020, enggak boleh. Jadi batas waktunya itu tanggal 31 Desember 2019, jadi itu data guru non-ASN yang ada di Dapodik,” papar Erlangga.
“Kedua, gurunya harus ada NUPTK, Nomor Unit Pendidikan Terakhir Kependidikan. Jadi harus ada dua hal itu yang harus diperhatikan bersama,” sambung dia.
Erlangga menyebut, pembayaran guru honorer dengan menggunakan dana BOS merupakan bentuk kepedulian dari Kemendikbud. Sebab, kata dia, terdapaf keluhan dari para guru yang hanya diberi Honor Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu.
“Ini sebetulnya kepedulian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap guru-guru yang kurang mendapat perhatian. Untuk sementara kita lakukan seperti ini. Untuk selanjutnya perlu ada pembicaraan khusus lagi antar kementerian,” jelas dia.
Meski demikian, kata Erlangga, dana BOS tidak dapat digunakan untuk membayar honor guru yang telah diangkat menjadi PNS. Dia menuturkan, jika kepala sekolah melanggar aturan itu, maka akan dikenakan sanksi.
“Tapi memang dana BOS ini enggak boleh untuk guru yang PNS. Kalau untuk PNS, nanti kena itu kepala sekolah atau pengelola BOS-nya kena (sanksi),” ujar Erlangga.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua PB PGRI dan Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia, Didi Suprijadi mengungkapkan, tidak semua guru honorer memiliki NUPTK. Didi mengatakan, guru yang memiliki NUPTK hanya terdapat di beberapa daerah.
“Hanya Sidoarjo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Subang yang tenaga honorernya punya NUPTK, karena kabupatennya care (peduli). Jadi yang lain tidak. Jadi kemungkinan tenaga honorer yang sudah bertahun-tahun, yang tidak punya NUPTK gigit jari,” jelas Didi.(red)